Breaking News

MAKALAH Metode Dakwah Tentang Problematika Dakwah Dewasa ini di Indonesia dan Pemecahannya


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Qardh atau utang piutang dalam pengertian umum mirip dengan jual beli, karena qardh nerupakan bentuk kepemilikan atas harta dengan imbalan harta, Qardh juga merupakan salah satu jenis salaf ( salam ). Beberapa ulama, seperti dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa Qardh ( utang piutang ) adalah jual beli sendiri . Hanya saja Imam Al-Qarafi menyebutkan tiga perbedaan antara qardh dan jual beli, beraitan dengan aidah syari’ah, yaitu :
1.     Berlaku kaidah riba, apabila Qardh itu dalam harta atau barang-barang yang termasuk kelompok ribawiyah, seperti makilat ( barang-barng yang ditukar ).
2.     Berlaku kaidah muzabanah adalah, yaitu jual beli barang yang jelas dengan barang yang tidak jelas dari jenisnya, apabila qardh ( utang piutang ) itu di dalam seperti binatang yang harang untuk dijual belikan.
3.     Berlaku kaidah menjual barang yang tidak ada tangan seseorang atau tidak adanya kejelasannya .

  1. Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud
2.     Apa yang dimaksud
3.     Apa yang dimaksud
4.     Apa yang dimaksud
  1. Tujuan Penelitian
1.     Untuk mengetahui
2.     Untuk mengetahui
3.     Untuk mengetahui
4.     Untuk mengetahui



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Utang Piutang atau Qardh
1.      Pengertian Utang Piutang ( Qardh atau ‘Ariyah )
Secara etimologi, ‘Ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘Aryah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam-meminjam.
Secara terminologi  syara’, ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinikan ‘ariyah, antara lain :
1.      Ibnu Rif’ah berpendapat , bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.[1]
2.      Menurut pendapat Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barng tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.

Adapu dasar hukum dibolehkannya bahkan disunnahkannay ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut :[2]
Q.S Al-Maidah : 2





Q.S Al-Baqarah : 245





2.      Rukun dan Syarat-syarat ‘Ariyah atau Qardh
‘Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun  yang harus terpenuhi :
1.      Orang yang meminjamkan atau Mu’ir
2.      Orang yang meminjam atau Musta’ir
3.      Barang yang dipinjamkan atau Mu’ar
4.      Lafal atau sighat pinjaman atau sight ‘ariyah.
Sama dengan halnya pelasanaan dengan akad-akad lainnya, para ulama mengharuskan supaya akad atau transaksi ‘ariyah ini memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut :[3]
1.      Orang yang meminjam itu ialah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah. Oleh sebab itu, anak kecil, oran gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad, atau transaksi ‘ariyah.
2.       Qardh atau ‘ariyah adalah suatu akad atas harta, oleh karena itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti jual beli dan hibah.
3.      Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
3.      Tata Krama  Berhutang
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan terhadap pinjam-meminjam attau utang-piutang tentang tata krama yang terkait di dalamnya di antaranya sebagai berikut ;
1.      Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
2.      Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan, pihak yang memberikan utang memberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan maka yang meminjamkan hendanya membebaskannya.
3.      Demi terjaganya hubungan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulisan dari kedua belah pihak dengan disaksikan dua oarng atau lebih saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
4.      Ketika mengembalikan utang tau pinjaman hendaknya peminjam mengembalikan pinjaman sesuai dengan kualitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa terimakasih peminjam mengembalikan penjaman dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
5.      Pihak yang berhutang bila telah mampu membayar pinjaman atau utangnya hendaknya dijelaskan mempercepat membayar utangnya sebab sebagaimana dijelaskan dalam hadis, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti iaa telah berbuat zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal ia telah menolong .

B.     Riba
1.      Pengertian Riba
Riba dalam arti bahasa dari kata : “ raba “ yang sinonimnya : nama wa zada, artinya tumbuh dan tambah. Dalam istilah syara’, pengertian riba adalah sebagai berikut :
a.       Hanabilah menurutnya riba adalah tambahan dalam perkara-perkara tertentu.
b.      Kamaluddin bin Al-hammam dari Hanafiah memberikan defenisi riba adalah elebihan yan sertai yang sunyi ( tidak sertai ) dengan imbalan yang diisyaratkan dalam jual beli.[4]
c.       Satria Efendi, riba adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang diisyaratkkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.[5]
2.      Dasar Hukum Larangan Riba
Riba hukumnya haram, berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dalam Al-Qur’an disebutan dalam beberapa ayat, antara lain :
a.       Surah Al-Baqarah : 275



b.      Surah Al-Imran : 130




3.      Pembagian atau Macam-macam Riba
Menurut syafi’iyah riba terbagi kepada 3  bagian :
1.      Riba Fadhal, adalah tambahan benda dalam akad jual beli ( tukar-menukar ) yang menggunakan ukuran syara’ yang jenis barangnya sama.
2.      Riba Al-Yad, adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Yakni terjadinya jual beli atau tukar-menukar dua barang yang berbada jenis, seperti gandum dengan jagung ( syair ), tanpa dilakukan penyerahan di majelis akad.
3.      Riba Nasi’ah, adalah kelebihan tunai atas tempo dan kelebihan barang atas utang di dalam barang yang ditakar atau ditimbang ketika berbeda jenisnya, atau di dalam barang yang tidak di takar atau ditimbang ketika jenisnya sama. Atau dengan kata lain riba nasi’ah adalah menjual ( menukar ) suatu barang dengan barang yang sama jenisnya, atau dengan barang yang tidak sama dengan dilebihkan takaran atau timbangannya sebagai imbalan diakhirkannya penukaran, atau tampa tambahan sperti menjual satu kilogram kurma yang penyerahannya langsung ( di majelis akad ) dengan ssatu kilogram kurma yang penyerahannya tempo.

4.      Hikmah dilarangnya Riba
Adapun sebab dilarangnya riba ialah dikarenakan riba menimbulkan kemudaratan yang besar bagi umat manusia. Kemudaratan tersebut antara lain :
a.       Riba menyebabkan permusuhan antar individu yang satu dengan individu yang lain, dan menghilangkan jiwa tolong-menolong di antar mereka.
b.      Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta, seperti benalu yang setiap saat menghisap orang lain.
c.       Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan di bidang ekonomi, dimana orang-orang kaya mengisap dan menindas orang-orang miskin.
d.      Dalam hal ini islam mendorong umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan dengan model “ qardhul hasan “ atau pinjaman tanpa bunga.
e.       Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya. Hal ini akan memutus kreativitas hidup manusia di dunia.
f.       Riba menghilangkan nilai kebaikan dalam utang-piutang. Keharaman riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat.

Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena di dalamnya terdapat empat unsur yang merusak :
1.      Menimbulkan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong-menolong. Semua agama terutama islam sangat menyeru tolong-menolong dan membenci orang yang mengutamakannya kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengeksploitasi kerja orang lain.
2.      Riba akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu ( pohon parasit ) yang menempel di pohon lain.
3.      Riba sebagai sebagai salah satu cara menjajah.
4.      Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah.





















[1] Wahbah al-juhaili, “ al-fiqih wa adilatuhu”, Damaskus : 2005, halm, 4035
[2] Hendi Suhendi, “ Fiqih Muamalah “, Jakarta : 2005, Halm, 93-95
[3] Asy-Syahbaini al-khatib, “ Mughani al-Muhtaj “, Beirut : 1978, Hal, 264

[5] Satria Efendi, “ Riba dalam Pandangan Fiqih, kajian islam tentang Berbagai Masalah Kontenporer” ,Jakarta : 1998,hal, 147
 





No comments