BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Qardh
atau utang piutang dalam pengertian umum mirip dengan jual beli, karena qardh
nerupakan bentuk kepemilikan atas harta dengan imbalan harta, Qardh juga
merupakan salah satu jenis salaf ( salam ). Beberapa ulama, seperti dikutip
oleh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa Qardh ( utang piutang ) adalah jual beli
sendiri . Hanya saja Imam Al-Qarafi menyebutkan tiga perbedaan antara qardh dan
jual beli, beraitan dengan aidah syari’ah, yaitu :
1. Berlaku
kaidah riba, apabila Qardh itu dalam harta atau barang-barang yang termasuk
kelompok ribawiyah, seperti makilat ( barang-barng yang ditukar ).
2. Berlaku
kaidah muzabanah adalah, yaitu jual beli barang yang jelas dengan barang yang
tidak jelas dari jenisnya, apabila qardh ( utang piutang ) itu di dalam seperti
binatang yang harang untuk dijual belikan.
3. Berlaku
kaidah menjual barang yang tidak ada tangan seseorang atau tidak adanya
kejelasannya .
- Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud
2. Apa
yang dimaksud
3. Apa
yang dimaksud
4. Apa
yang dimaksud
- Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui
2. Untuk
mengetahui
3. Untuk
mengetahui
4. Untuk
mengetahui
BAB
II
PEMBAHASAN
- Utang Piutang atau Qardh
1. Pengertian
Utang Piutang ( Qardh atau ‘Ariyah )
Secara
etimologi, ‘Ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi.
Menurut sebagian pendapat ‘Aryah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama
artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan
mengganti dalam konteks tradisi pinjam-meminjam.
Secara
terminologi syara’, ulama fiqih berbeda
pendapat dalam mendefinikan ‘ariyah, antara lain :
1. Ibnu
Rif’ah berpendapat , bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil
manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan
kepada pemiliknya.[1]
2. Menurut
pendapat Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas
manfaat suatu barng tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah adalah
menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya
imbalan.
Adapu dasar hukum dibolehkannya bahkan
disunnahkannay ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut :[2]
Q.S Al-Maidah : 2
Q.S Al-Baqarah : 245
2. Rukun
dan Syarat-syarat ‘Ariyah atau Qardh
‘Ariyah sebagai sebuah akad atau
transaksi, sudah tentu perlu adanya unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan
perbuatan itu dapat terwujud sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam hal ini sudah
pasti ada beberapa rukun yang harus
terpenuhi :
1. Orang
yang meminjamkan atau Mu’ir
2. Orang
yang meminjam atau Musta’ir
3. Barang
yang dipinjamkan atau Mu’ar
4. Lafal
atau sighat pinjaman atau sight ‘ariyah.
Sama dengan halnya pelasanaan dengan
akad-akad lainnya, para ulama mengharuskan supaya akad atau transaksi ‘ariyah
ini memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai
berikut :[3]
1. Orang
yang meminjam itu ialah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena
orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah. Oleh sebab
itu, anak kecil, oran gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad, atau
transaksi ‘ariyah.
2. Qardh atau ‘ariyah adalah suatu akad atas
harta, oleh karena itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti jual beli dan hibah.
3. Barang
yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima
langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
3. Tata
Krama Berhutang
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan
terhadap pinjam-meminjam attau utang-piutang tentang tata krama yang terkait di
dalamnya di antaranya sebagai berikut ;
1. Pinjaman
hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
2. Pihak
yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang
berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan, pihak yang memberikan
utang memberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam
betul-betul tidak mampu mengembalikan maka yang meminjamkan hendanya
membebaskannya.
3. Demi
terjaganya hubungan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulisan dari
kedua belah pihak dengan disaksikan dua oarng atau lebih saksi laki-laki atau
dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
4. Ketika
mengembalikan utang tau pinjaman hendaknya peminjam mengembalikan pinjaman
sesuai dengan kualitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa
terimakasih peminjam mengembalikan penjaman dengan kualitas dan kuantitas yang
lebih baik.
5. Pihak
yang berhutang bila telah mampu membayar pinjaman atau utangnya hendaknya
dijelaskan mempercepat membayar utangnya sebab sebagaimana dijelaskan dalam
hadis, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti iaa telah berbuat
zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal ia telah menolong .
B. Riba
1. Pengertian
Riba
Riba
dalam arti bahasa dari kata : “ raba “ yang sinonimnya : nama wa zada, artinya tumbuh dan tambah. Dalam istilah syara’,
pengertian riba adalah sebagai berikut :
a. Hanabilah
menurutnya riba adalah tambahan dalam perkara-perkara tertentu.
b. Kamaluddin
bin Al-hammam dari Hanafiah memberikan defenisi riba adalah elebihan yan sertai
yang sunyi ( tidak sertai ) dengan imbalan yang diisyaratkan dalam jual beli.[4]
c. Satria
Efendi, riba adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang diisyaratkkan
lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko
sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.[5]
2. Dasar
Hukum Larangan Riba
Riba
hukumnya haram, berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dalam Al-Qur’an
disebutan dalam beberapa ayat, antara lain :
a. Surah
Al-Baqarah : 275
b. Surah
Al-Imran : 130
3. Pembagian
atau Macam-macam Riba
Menurut syafi’iyah riba terbagi kepada 3 bagian :
1. Riba
Fadhal, adalah tambahan benda dalam akad jual beli ( tukar-menukar ) yang
menggunakan ukuran syara’ yang jenis barangnya sama.
2. Riba
Al-Yad, adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan
kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya.
Yakni terjadinya jual beli atau tukar-menukar dua barang yang berbada jenis,
seperti gandum dengan jagung ( syair ), tanpa dilakukan penyerahan di majelis
akad.
3. Riba
Nasi’ah, adalah kelebihan tunai atas tempo dan kelebihan barang atas utang di
dalam barang yang ditakar atau ditimbang ketika berbeda jenisnya, atau di dalam
barang yang tidak di takar atau ditimbang ketika jenisnya sama. Atau dengan
kata lain riba nasi’ah adalah menjual ( menukar ) suatu barang dengan barang
yang sama jenisnya, atau dengan barang yang tidak sama dengan dilebihkan
takaran atau timbangannya sebagai imbalan diakhirkannya penukaran, atau tampa
tambahan sperti menjual satu kilogram kurma yang penyerahannya langsung ( di
majelis akad ) dengan ssatu kilogram kurma yang penyerahannya tempo.
4. Hikmah
dilarangnya Riba
Adapun sebab dilarangnya riba ialah
dikarenakan riba menimbulkan kemudaratan yang besar bagi umat manusia.
Kemudaratan tersebut antara lain :
a. Riba
menyebabkan permusuhan antar individu yang satu dengan individu yang lain, dan
menghilangkan jiwa tolong-menolong di antar mereka.
b. Riba
mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat
harta, seperti benalu yang setiap saat menghisap orang lain.
c. Riba
merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan di bidang ekonomi,
dimana orang-orang kaya mengisap dan menindas orang-orang miskin.
d. Dalam
hal ini islam mendorong umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada orang lain
yang membutuhkan dengan model “ qardhul
hasan “ atau pinjaman tanpa bunga.
e. Riba
dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya. Hal ini akan memutus kreativitas hidup
manusia di dunia.
f. Riba
menghilangkan nilai kebaikan dalam utang-piutang. Keharaman riba membuat jiwa
manusia menjadi suci dari sifat lintah darat.
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat,
diharamkannya riba karena di dalamnya terdapat empat unsur yang merusak :
1. Menimbulkan
permusuhan dan menghilangkan semangat tolong-menolong. Semua agama terutama
islam sangat menyeru tolong-menolong dan membenci orang yang mengutamakannya
kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengeksploitasi kerja orang
lain.
2. Riba
akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan
harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu ( pohon parasit ) yang menempel di
pohon lain.
3. Riba
sebagai sebagai salah satu cara menjajah.
4. Islam
menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik
untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah.
[1] Wahbah al-juhaili, “
al-fiqih wa adilatuhu”, Damaskus : 2005, halm, 4035
[2] Hendi Suhendi, “
Fiqih Muamalah “, Jakarta : 2005, Halm, 93-95
[3] Asy-Syahbaini
al-khatib, “ Mughani al-Muhtaj “, Beirut : 1978, Hal, 264
[5] Satria Efendi, “ Riba
dalam Pandangan Fiqih, kajian islam tentang Berbagai Masalah Kontenporer”
,Jakarta : 1998,hal, 147